Memaknai sikap dependensi, independensi dan interdependensi PMII-NU

Mengenal PMII Vol 02


Oleh : Dewi Aulia Wandarianti (Anggota PMII Rayon FISIP, Komisariat UIN Sunan Gunung Djati, Cabang Kab. Bandung). 





     Melanjutkan dari tulisan sebelumnya di vol 01 yang mengungkap PMII dari dimensi sosio-historis, kali ini adalah bahasan lanjutan mengenai peristiwa penting yang pernah dialami oleh PMII, bagi yang belum sempet membaca vol 01. Sebelum lanjut membaca vol 02, alangkah baiknya jika dibaca dulu agar bisa memahami secara utuh tulisan kali ini. Sebagaimana diketahui, awal berdirinya PMII erat kaitannya dengan salah satu organisasi masyarakat (ormas) islam yaitu nahdlatul ulama (NU). Bagaimana tidak? PMII sendiri lahir dari salah satu underbouw NU yaitu Departemen Perguruan Tinggi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (DEPTI-IPNU) dan atas seizin dari KH. Idham Chalid yang saat itu menjabat sebagai Ketum PBNU.

     Maka sejak awal pendiriannya, bisa dikatakan PMII sendiri bersikap dependen. Kata "dependen", dalam KBBI memiliki makna bergantung kepada pihak lain, hal ini dirasa cukup beralasan karena PMII sendiri sedari awal menjadi underbouw yang terikat secara struktural dengan NU. Seperti halnya beberapa organisasi-organisasi lain kala itu. Seperti SEMMI yang terikat dengan PSII, KMI yang terikat dengan PERTI, IMM yang terikat dengan Muhamadiyah, atau bahkan HMI yang dekat dengan Masyumi, PMII juga mempunyai hubungan khusus baik secara struktural maupun emosional dengan NU.

     Akan tetapi, seiring berjalannya waktu ketika saat itu pemerintahan nasional dipimpin oleh rezim orde baru. PMII juga mulai sibuk untuk merumuskan langkah yang tepat dalam membangun sebuah wacana pergerakan.  PMII sangat peka pada saat rezim orde lama jatuh lalu adanya transisi ditandai dengan Soeharto yang naik sebagai Presiden RI sekaligus menjadi penguasa orde baru, hal ini membawa Indonesia pada perubahan politik dan pemerintahan yang sangat signifikan. Pemerintahan orde baru yang mempunyai hasrat untuk mengurangi kekuatan partai-partai yang memiliki ideologi dengan cara mendirikan sebuah partai tersendiri sebagai kekuatan penopang, partai ini di namakan sebagai Golongan Karya (Golkar).

     Pada Rezim ini, Orde Baru juga melakukan sebuah penyederhanaan partai politik atau istilah politiknya adalah fusi partai politik, yakni dengan cara mengelompokkan kontestan pemilu menjadi tiga kelompok. Dalam pembagian kelompok ini Golkar dikenal sebagai partai penguasa, maka lewat partai ini lah upaya politik Soeharto mampu mempertahankan kekuasaannya. Dan partai-partai yang lain hanya menjadi pemanis demokrasi yang di atur sedemikian rupa oleh Soeharto. Kebijakan pada masa pemerintahan orde baru ini membuat kekuasaan yang tidak dapat di kritisi oleh masyarakat dan mahasiswa. Hegemoni pemerintah yang malah mengakibatkan masyarakat dan mahasiswa tidak memiliki ruang gerak untuk mengawasi pemerintah. Keadaan ini membuat warga PMII menjadi lebih kritis, sehingga PMII membuat pemikiran yang di sosialisasikan kepada masyarakat umum dan mahasiswa.

     Keadaan ini mengharuskan PMII untuk lebih peka dan pintar dalam membaca realita yang mengucilkan setiap circle masyarakat termasuk partai politik kecuali partai Golkar. Lalu setelah itu, PMII berpandangan bahwa jika tetap di naungan NU yang masih berada pada wilayah politik praktis, PMII akan mengalami kesulitan untuk menjalankan prinsip idealisme sebagai organisasi mahasiswa. Atas dasar pertimbangan tersebut, diadakanlah Musyawarah Besar (Mubes) di Munarjati  pada 14 Juli 1972 kota Malang. Dari mubes ini PMII memutuskan untuk Independen yang mana hal tersebut terdapat dalam Deklarasi Munarjati.

     Independensi disini berarti bahwa PMII sudah tidak terikat pada sikap maupun tindakan siapapun dan hanya berkomitmen dengan perjuangan organisasi yang bercita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan pancasila. Deklarasi ini menyerukan salah satu nya adalah bahwa PMII selaku generasi muda, sadar akan peranannya untuk ikut serta dan bertanggung jawab bagi berhasilnya pembangunan yang dapat dirasakan dampaknya oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang status sosial. Banyak pula asumsi dari berbagai kalangan ihwal independensi PMII yang dimana dimulai dari aspek politis, filosofis hingga idealis. Tiga poin tentang asumsi motivasi PMII menyatakan sikap independen dirumuskan dalam beberapa argumentasi.

• Pertama adalah sikap kedewasaan, karena disini PMII dituntut untuk bersikap dewasa mempertahankan idealisme agar mahasiswa tidak terjebak dalam kepentingan politik praktis.

• Kedua, sikap dari manifestasi rasa kejengkelan PMII terhadap NU karena kadernya yang berkualitas tidak diberi kesempatan untuk duduk di legislatif atau eksekutif.

• Ketiga ialah taktik, kondisi politik ketika orde lama sangat memprihatinkan, maka independensi merupakan jalan aman bagi PMII agar selamat. Sehingga ketika NU dibubarkan berbarengan dengan penyederhanaan partai, PMII akan tetap hidup  karena bukan lagi bagian dari NU.

    Lalu dari ketiga asumsi itu, poin kedua dan ketiga dirasa kurang pas jika dihadapkan dengan hakikat PMII sebagai organisasi mahasiswa yang menjunjung tinggi nilai moral dan idealisme. Sehingga poin pertama sebagai proses pendewasaan yang membawa PMII dan NU pada persamaan ideologi, akidah, kultur dan tradisi yang kemudian Chalid Mawardi menyebutnya dengan istilah interdependensi dan menganggap lebih rasional dibanding penggunaan istilah independensi.

     Keputusan ini tidak berjalan dengan mulus, terutama pada kalangan kader NU. Respon kyai dan tokoh NU memiliki banyak argumentasi, ada yang pro dan kontra. Namun PMII membuktikan bahwa sentral jaringan intelektual dikalangan pemuda islam indonesia. Fakta ini juga membuktikan bahwa PMII sangat sadar bahwa setiap gerakan harus dilandasi dengan modal intelektual yang mampu melahirkan pengembangan dan pengabdian masyarakat.

     Independensi ditafsirkan sebagai interdependensi yang mana istilah tersebut ditawarkan Chalid Mawardi yakni salah satu pengurus besar PMII. Interdependensi PMII merupakan sebuah sikap yang tidak saling mengintervensi baik struktural maupun kelembagaan, tapi tetap memiliki visi dan misi yang jika ditarik secara garis besar itu sama. Sikap ini membuat PMII menjadi unik karena bisa menjadikan satu satunya organisasi mahasiswa yang mempunyai istilah interdependen. Hal itu bertujuan agar terjadi rekonsiliasi antara PMII dan NU untuk menghapus kecurigaan yang sempat ramai diperbincangkan sebelumnya dan guna menjalin kembali hubungan emosional diantara keduanya. Adanya kesamaan tujuan dan cita-cita dengan mengedepankan kedaulatan organisasi membuat PMII perlu untuk memutuskan untuk interdependen dengan NU.

     Deklarasi interdependensi PMII ini dicetuskan dalam kongres X PMII di Asrama Haji Pondok Gede pada tanggal 27 Oktober 1991. Lalu untuk mempertegas deklarasi tersebut, lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Pengurus Besar PMII merumuskan implementasi Interdependensi PMII pada tanggal 24 Desember 1991 di Cimacan. Adanya rumusan tersebut dikarenakan berlandaskan pemikiran bahwa menurut PMII ulama sebagai pewaris para nabi, yakni sebagai panutan pendalaman ilmu agama.

     Lalu ikatan historis mempertemukan PMII dan NU, karena pada sejarahnya kelahiran dan perkembangan PMII tidak lepas dari peran NU, dan pilihan independen PMII sendiri tidak di artikan sebagai upaya untuk menghapus peran atau sejarah NU dalam hidup PMII. Karena adanya persamaan paham agama antara PMII dan NU, yang dimana tetap sama sama mengembangkan paham keislaman yakni Ahlussunnah Wal Jama'ah atau Aswaja. Lalu kesamaan kebangsaan yang bagi PMII adalah keutuhan komitmen keislaman dan perwujudan kesadaran beragama bagi setiap muslim. Dan kesamaan kelompok yang dimana tertuju pada masyarakat kelas menengah kebawah. Di samping itu berangkat dari kalangan pedesaan dan pendidikan pesantren.

     Untuk konteks saat ini, PMII harus bergerak on the track, sebagaimana telah diketahui saat ini PMII tidak terikat dengan menjadi underbouw dengan organisasi maupun partai politik. Maka dari itu, apa yang dilakukan PMII harus mengedepankan aspek kemaslahatan agama, bangsa dan negara. Dengan posisi saat ini dimana banyak alumni-alumni PMII berhasil mendapatkan posisi di pemerintahan dan berdiaspora di berbagai partai politik, tentu harus di sikapi dengan bijak oleh PMII sendiri, karena di lain sisi hal itu bernilai positif karena alumni-alumni potensialnya terdistribusikan menjadi suprastruktur politik dan infrastruktur politik, namun di sisi lain jangan sampai ada saling intervensi antara PMII dengan para alumni, atau bisa di katakan semua harus berjalan sesuai dengan tupoksinya. 


Mari bergabung bersama PMII Rayon FISIP, Komisariat UIN Sunan Gunung Djati, Cabang Kabupaten Bandung, hubungi :


+62 857-9872-0486 (Hadi/KPO PMII Rayon FISIP).


+62 812-2236-9388 (Anjani/KPO KOPRI Rayon FISIP). 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa itu PMII? Ungkap PMII dari dimensi sosio-historis.